Minggu, 24 September 2017

Sekelumit Kisah Menuju Kampus Kerakyatan

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Halo pejuang! Bagaimana persiapannya untuk menyambut kesuksesan di tahun depan? Semoga bisa berjalan dengan lancar, ya. Perkenalkan, namaku Nabila Arifani Arizka, jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan UGM angkatan 2017. Nah, lewat tulisan ini, aku mau menceritakan bagaimana prosesku bisa menjadi salah satu bagian dari Gamada 2017.
Seseorang di SMA pernah mendoktrin “Kelas 10 itu nakal dulu ngga papa, biar gampang naikin nilainya di kelas 11 dan 12.” Kurang lebih begitu bunyinya. Jika ada kesalahan, setidaknya begitulah intinya. Entah siapa yang memulainya, teman-temanku pun banyak yang percaya akan hal itu. Tapi tidak denganku. Beberapa waktu sebelum masuk SMA, kakakku yang juga mahasiswa UGM mengajarkanku untuk menjadi anak rajin di awal waktu. Sehingga jika suatu saat ada masalah mendadak, aku tidak terlalu kaget dan keteteran untuk membagi waktu. Ia pun mengajarkanku agar suka duduk di depan, rajin membaca dan membandingkan isi buku, tidak malu bertanya pada guru, serta fokus pada pelajaran. Tanpa sadar, aku mengikuti itu. Hingga waktu kelas 10, aku menjadi seseorang yang perfeksionis.
Waktu itu, aku punya banyak impian. Salah satunya adalah diterima di Universitas Gadjah Mada. Entah mengapa aku menginginkan universitas nasional pertama di Indonesia itu. Mungkin karena aku punya kakak yang berkuliah di sana. Aku banyak mendengar cerita tentang serunya kuliah di sana dan asyiknya jadi mahasiswa. Ayahku bahkan berkata bahwa beliau lebih senang kalau anaknya kuliah di UGM dibanding diberi hadiah berupa mobil.
Singkat cerita, di kelas 10 dan kelas 11, aku memaksimalkan kemampuanku untuk membuktikan pada diriku sendiri, keluarga, dan sekolahku bahwa aku adalah orang yang pantas untuk diterima di UGM. Berusaha mengikuti pelajaran dengan serius di saat yang lain terkena virus mudah mengantuk, mengikuti beberapa lomba yang bisa meningkatkan kapasitasku, dan menjadi peringkat atas di kelas. Kalau hanya melihat ringkasannya, mungkin kau akan berpikir kalau jalan yang kulalui bisa dibilang sangat mulus. Namun tidak seperti itu. Aku mengalami masalah dengan kepribadianku sendiri. Aku tidak tahu bagaimana sikapku seharusnya jika berada di ruang guru, aku membenci diriku sendiri ketika tidak bisa melakukan sesuatu, belum lagi keharusan untuk menyeimbangkan kehidupan akademik dengan ekstrakurikuler. Namun, semuanya kulakukan karena aku menginginkan UGM lewat jalur undangan. Aku pun mencoba untuk mengatasinya dengan caraku sendiri. Kebetulan, orang tuaku selalu mengingatkan untuk berzikir. Kakakku juga mengingatkan untuk berdoa. Pokoknya, kehidupan kelas 10 dan 11 penuh dengan memori.
Lalu, aku naik ke kelas 12 alias tingkat akhir di SMA. Usiaku 17 tahun. Aku masih ingat, dulu guru BK pernah mengingatkan bahwa pada umur 17, seseorang bisa jadi memasuki fase kenakalan seperti saat umur 13 (kelas 8 SMP). Benar saja, aku memasuki fase kenakalan itu. Ambisius tetapi malas. Suka menunda-nunda. Rasanya banyak ajaran hidup di kelas 10 dan 11 yang sudah tidak berlaku lagi. Rasanya aku harus mulai dari nol kembali. Tetapi, aku merasa bahwa perjuanganku di kelas  10 dan 11 akan mengcover semua kekuranganku di kelas 12. Sayangnya, itu hanyalah ekspektasi belaka. Di kelas 12, teman-temanku menjadi lebih rajin berkali-kali lipat. Mereka mempersiapkan SBMPTN dengan mendaftar pada bimbingan belajar dan mengisi soal-soal di buku latihan setiap ada waktu luang. Aku mengalami degradasi kualitas diri di kelas 12. Angan-anganku membesar tetapi usaha yang kulakukan mengecil. Mungkin, aku sudah hampir kehabisan nafas dalam persaingan di kelas 12. Biasanya, aku masuk peringkat 1 atau 2 di kelas. Tapi di kelas 12, peringkatku turun menjadi 5. Bagiku, itu sangat drastis.
Lalu, di awal tahun 2017, banyak tersedia tryout-tryout SBMPTN yang diadakan oleh paguyuban mahasiswa PTN. Meskipun awalnya ogah-ogahan, aku mendaftarkan diriku dalam beberapa tryout. Saat tryout, aku sempat merasa kesulitan dalam mengerjakan soal-soalnya. Lalu, saat tryout selesai, teman-temanku pun saling mencocokkan jawabannya, karena kebetulan kami diperbolehkan membawa pulang soal try out. Tapi tidak denganku. Aku menerapkan prinsip untuk menjaga lembar soal supaya tetap bersih. Karena kata seorang guru, kalau menjawab di naskah soal, kemudian menemukan soal yang mirip, kita menjadi tidak berpikir sehingga menyebabkan seseorang menjadi malas berpikir. Entah benar atau tidak, aku menerapkan prinsip itu sepanjang kelas 12. Kemudian, di tengah-tengah banyaknya try out, para mahasiswa PTN juga datang ke sekolah untuk sosialisasi pentingnya kuliah dan tips mempersiapkan diri masuk perguruan tinggi. Waktu itu, ada salah satu yang ‘menamparku’. Bahwa seharusnya aku tidak boleh sombong, menginginkan sesuatu yang besar tetapi usaha yang selama ini dilakukan masih kecil. Aku harus berhati-hati bahwa di SBMPTN, yang menjadi sainganku bukan hanya sesama angkatan 2017, tetapi juga orang-orang angkatan sebelumnya yang sudah mengkhatamkan buku-buku latihan soal SBMPTN. Sungguh, aku merinding waktu itu. Tapi, hatiku masih keras. Hanya mendengarkan, tidak menyicil belajar. Hanya membuka soal, kunci jawaban, lalu selesai. Aku sangat berharap banyak pada jalur SNMPTN waktu itu.
Satu bulan kemudian, tibalah waktu SNMPTN. Kuota pendaftar dari sekolahku adalah 50%. Lalu, aku masuk dalam salah satunya. Akan tetapi, di ajang itu, aku menyombongkan diri. Aku hanya memilih UGM di SNMPTN. Padahal, tidak ada seorangpun alumni dari sekolahku di jurusan itu. Kemudian, aku pun mengandalkan spiritualitasku yang sesungguhnya amat pas-pasan. Kau tahu, jalur itu merupakan ajang pertarungan nilai, ego, doa, dan takdir. Lalu singkat cerita, pada tanggal 26 April 2017, aku menjadi salah satu tim merah dalam SNMPTN.
Sewaktu melihat hasil pengumumannya, aku tidak menangis. Hanya badmood. Kemudian, aku pun segera mendaftar SBMPTN. Kemudian, aku pun pergi ke Yogyakarta untuk menjauhkan diri dari pengaruh negatif yang mungkin muncul dalam diriku. Di kota asal, aku yang sensitif merasa mendapat bully-an ketika ada yang bertanya “Mba, udah dapat tempat kuliah?”. Rasanya aku ingin lenyap dari tempat itu, melenyapkan pertanyaan itu dari muka bumi, serta melenyapkan orang yang menanyakan itu padaku. Serius, aku bingung harus berbuat apa. Akhirnya, aku pergi ke Yogyakarta untuk menyembuhkan itu semua.
Hari pertama, aku langsung mendaftar di salah satu bimbingan belajar. Sudah terlambat, memang. Namun, kakakku selalu menyemangati bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Ya, kota baru, harapan baru. Aku ingin memperbaiki diriku. Selamat tinggal, masa lalu. Tidak mengapa jika saling melupakan. Lagipula, beberapa kenangan masih ada yang membekas dalam ingatan.
Hal yang kurasakan dari bimbingan belajar yang ada di Yogyakarta adalah suasana yang amat kondusif untuk belajar. Bertemu dengan orang-orang dari penjuru Indonesia yang memiliki semangat belajar lebih, suasana yang sejuk, orang-orang yang ramah, dan pemandangan yang tidak kalah indah dengan kota-kota wisata lain di dunia. Merantau itu bagaikan memiliki jiwa kedua.
Aku pun berusaha untuk mengajak diriku agar bersemangat dalam SBMPTN. Di SBMPTN, aku tidak terlalu banyak berharap, karena aku mengatakan pada diriku sendiri bahwa banyak jalan terbentang. Aku juga sering menonton live instagram dari salah satu akun yang berisi informasi dan motiavsi seputar dunia perkuliahan. Dari situ, aku mengenal banyak orang dari beragam perguruan tinggi negeri dan luar negeri. Jujur saja, dibandingkan bimbingan belajar, akun instagram itu lebih banyak berjasa dalam memotivasiku untuk mempersiapkan SBMPTN. Karena waktu SMA, aku tidak pernah mengikuti bimbingan belajar. Aku takut tergoda dengan contekan, bocoran, dan kunci jawaban ulangan.
Lalu, hawa SBMPTN menyelimuti Indonesia. Banyak yang memberikan support dan semangat untuk para pejuang SBMPTN 2017. Di SBMPTN, kita masuk sebagai anak SMA, keluar sebagai mahasiswa. Itu salah satu yang kuingat. Lalu, tepat di malam sebelum SBMPTN tiba, seorang kakak kelas yang saat ini kuliah di UGM pun mengatakan lewat direct message, “I know you’ll make it”. Percayalah, itu membuatku senang dan tidak sabar menanti hari itu tiba. Tidak sabar ingin lolos SBMPTN dan lulus dari UGM.
Hari-H SBMPTN tiba. Kota Yogyakarta dibanjiri oleh peserta SBMPTN. Pertarungan mimpi yang telah lama dinanti akhirnya datang. Sempat khawatir, namun aku obati dengan mengaji sebelum memasuki ruang tes. Kualihkan kegugupanku dengan bacaan Al Quran dalam otak. Aku yakin bahwa aku mampu menghadapi semua ini. Aku ingin membuktikan bahwa aku juga pantas untuk merasakan kebahagiaan.
Saat memasuki ruang tes, aku langsung menempati tempat duduk sesuai nomor tes. Aku sudah terbiasa untuk tenang dalam ujian. Fokus pada sasaran. Berikan senyuman kepada seseorang yang berada di depan. Jika mengalami kebuntuan atau kesulitan, selalu berikan senyuman, kemudian kerjakan apa yang seharusnya dilakukan. Memang sempat mengalami keraguan, muncul rasa ingin menjawab asal-asalan, tetapi kemudian motivasi kuat melawan. Alhamdulillah, ujian tulis sudah selesai. Tinggal berpasrah. Gugur satu tumbuh seribu.
Kemudian, tanggal 13 Juni 2017, aku dikabari oleh seorang teman seperjuangan bahwa aku lolos SBMPTN prodi Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan/Sosiatri Universitas Gadjah Mada. Aku pun menelepon ibuku, memberi kabar pada keluarga dan kakak kelasku bahwa aku mendapat kabar baik. Alhamdulillah. Euforianya masih terasa hingga tulisan ini dibuat.
Pejuang, dari ceritaku itu, ada beberapa hal yang ingin kutekankan. Pertama, ada baiknya jika kita berjuang dari awal. Kenali siapa diri kita dan lakukan hal-hal yang dapat menunjang diri kita agar menjadi seseorang yang kita harapkan. Karena belajar itu dilakukan seumur hidup, maka seumur hidup kita harus serius menyimak pelajaran kehidupan. Kedua, temukan motivasi mengapa harus kamu yang menjadi seseorang yang kamu harapkan. Jaga terus motivasi itu. Di saat kamu merasakan degradasi, masih ada motivasi yang menemanimu untuk mewujudkan mimpi. Ketiga, jangan berharap pada siapapun selain diri sendiri dan Tuhan. Sebagaimana ucapan Ali bin Abi Thalib, yang paling menyakitkan adalah berharap pada manusia. Sistem yang canggih itu dibuat oleh manusia. Kalau terlalu berharap padanya, akan menyakiti hati. Yang terakhir, jaga semangat berjuangmu dan tolong bagikan tulisan ini pada teman-temanmu yang masih duduk di tahap awal SMA. Semoga berhasil, pejuang!


Ditulis oleh:

Nabila Arifani Arizka

Related Posts:

1 komentar:

  1. SUKSES UNTUK NABILA.....SEMMOGA DAPAT MENGINSPIRASI KAWAN KAWAN YANG LAINNYA.....

    BalasHapus

www.lowongankerjababysitter.com www.lowongankerjapembanturumahtangga.com www.lowonganperawatlansia.com www.lowonganperawatlansia.com www.yayasanperawatlansia.com www.penyalurpembanturumahtanggaku.com www.bajubatikmodernku.com www.bestdaytradingstrategyy.com www.paketpernikahanmurahjakarta.com www.paketweddingorganizerjakarta.com www.undanganpernikahanunikmurah.com