Assalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh. Halo pejuang! Bagaimana persiapannya untuk menyambut kesuksesan di
tahun depan? Semoga bisa berjalan dengan lancar, ya. Perkenalkan, namaku Nabila
Arifani Arizka, jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan UGM angkatan 2017.
Nah, lewat tulisan ini, aku mau menceritakan bagaimana prosesku bisa menjadi
salah satu bagian dari Gamada 2017.
Seseorang di SMA pernah mendoktrin
“Kelas 10 itu nakal dulu ngga papa, biar gampang naikin nilainya di kelas 11
dan 12.” Kurang lebih begitu bunyinya. Jika ada kesalahan, setidaknya begitulah
intinya. Entah siapa yang memulainya, teman-temanku pun banyak yang percaya
akan hal itu. Tapi tidak denganku. Beberapa waktu sebelum masuk SMA, kakakku
yang juga mahasiswa UGM mengajarkanku untuk menjadi anak rajin di awal waktu.
Sehingga jika suatu saat ada masalah mendadak, aku tidak terlalu kaget dan
keteteran untuk membagi waktu. Ia pun mengajarkanku agar suka duduk di depan,
rajin membaca dan membandingkan isi buku, tidak malu bertanya pada guru, serta
fokus pada pelajaran. Tanpa sadar, aku mengikuti itu. Hingga waktu kelas 10,
aku menjadi seseorang yang perfeksionis.
Waktu itu, aku punya banyak impian.
Salah satunya adalah diterima di Universitas Gadjah Mada. Entah mengapa aku
menginginkan universitas nasional pertama di Indonesia itu. Mungkin karena aku
punya kakak yang berkuliah di sana. Aku banyak mendengar cerita tentang serunya
kuliah di sana dan asyiknya jadi mahasiswa. Ayahku bahkan berkata bahwa beliau
lebih senang kalau anaknya kuliah di UGM dibanding diberi hadiah berupa mobil.
Singkat cerita, di kelas 10 dan kelas
11, aku memaksimalkan kemampuanku untuk membuktikan pada diriku sendiri,
keluarga, dan sekolahku bahwa aku adalah orang yang pantas untuk diterima di
UGM. Berusaha mengikuti pelajaran dengan serius di saat yang lain terkena virus
mudah mengantuk, mengikuti beberapa lomba yang bisa meningkatkan kapasitasku,
dan menjadi peringkat atas di kelas. Kalau hanya melihat ringkasannya, mungkin
kau akan berpikir kalau jalan yang kulalui bisa dibilang sangat mulus. Namun
tidak seperti itu. Aku mengalami masalah dengan kepribadianku sendiri. Aku
tidak tahu bagaimana sikapku seharusnya jika berada di ruang guru, aku membenci
diriku sendiri ketika tidak bisa melakukan sesuatu, belum lagi keharusan untuk
menyeimbangkan kehidupan akademik dengan ekstrakurikuler. Namun, semuanya
kulakukan karena aku menginginkan UGM lewat jalur undangan. Aku pun mencoba
untuk mengatasinya dengan caraku sendiri. Kebetulan, orang tuaku selalu
mengingatkan untuk berzikir. Kakakku juga mengingatkan untuk berdoa. Pokoknya,
kehidupan kelas 10 dan 11 penuh dengan memori.
Lalu, aku naik ke kelas 12 alias
tingkat akhir di SMA. Usiaku 17 tahun. Aku masih ingat, dulu guru BK pernah
mengingatkan bahwa pada umur 17, seseorang bisa jadi memasuki fase kenakalan
seperti saat umur 13 (kelas 8 SMP). Benar saja, aku memasuki fase kenakalan
itu. Ambisius tetapi malas. Suka menunda-nunda. Rasanya banyak ajaran hidup di
kelas 10 dan 11 yang sudah tidak berlaku lagi. Rasanya aku harus mulai dari nol
kembali. Tetapi, aku merasa bahwa perjuanganku di kelas 10 dan 11 akan mengcover semua kekuranganku di
kelas 12. Sayangnya, itu hanyalah ekspektasi belaka. Di kelas 12, teman-temanku
menjadi lebih rajin berkali-kali lipat. Mereka mempersiapkan SBMPTN dengan
mendaftar pada bimbingan belajar dan mengisi soal-soal di buku latihan setiap
ada waktu luang. Aku mengalami degradasi kualitas diri di kelas 12.
Angan-anganku membesar tetapi usaha yang kulakukan mengecil. Mungkin, aku sudah
hampir kehabisan nafas dalam persaingan di kelas 12. Biasanya, aku masuk
peringkat 1 atau 2 di kelas. Tapi di kelas 12, peringkatku turun menjadi 5.
Bagiku, itu sangat drastis.
Lalu, di awal tahun 2017, banyak
tersedia tryout-tryout SBMPTN yang diadakan oleh paguyuban mahasiswa PTN.
Meskipun awalnya ogah-ogahan, aku mendaftarkan diriku dalam beberapa tryout.
Saat tryout, aku sempat merasa kesulitan dalam mengerjakan soal-soalnya. Lalu,
saat tryout selesai, teman-temanku pun saling mencocokkan jawabannya, karena
kebetulan kami diperbolehkan membawa pulang soal try out. Tapi tidak denganku.
Aku menerapkan prinsip untuk menjaga lembar soal supaya tetap bersih. Karena
kata seorang guru, kalau menjawab di naskah soal, kemudian menemukan soal yang
mirip, kita menjadi tidak berpikir sehingga menyebabkan seseorang menjadi malas
berpikir. Entah benar atau tidak, aku menerapkan prinsip itu sepanjang kelas
12. Kemudian, di tengah-tengah banyaknya try out, para mahasiswa PTN juga datang
ke sekolah untuk sosialisasi pentingnya kuliah dan tips mempersiapkan diri
masuk perguruan tinggi. Waktu itu, ada salah satu yang ‘menamparku’. Bahwa
seharusnya aku tidak boleh sombong, menginginkan sesuatu yang besar tetapi
usaha yang selama ini dilakukan masih kecil. Aku harus berhati-hati bahwa di
SBMPTN, yang menjadi sainganku bukan hanya sesama angkatan 2017, tetapi juga
orang-orang angkatan sebelumnya yang sudah mengkhatamkan buku-buku latihan soal
SBMPTN. Sungguh, aku merinding waktu itu. Tapi, hatiku masih keras. Hanya
mendengarkan, tidak menyicil belajar. Hanya membuka soal, kunci jawaban, lalu
selesai. Aku sangat berharap banyak pada jalur SNMPTN waktu itu.
Satu bulan kemudian, tibalah waktu
SNMPTN. Kuota pendaftar dari sekolahku adalah 50%. Lalu, aku masuk dalam salah
satunya. Akan tetapi, di ajang itu, aku menyombongkan diri. Aku hanya memilih
UGM di SNMPTN. Padahal, tidak ada seorangpun alumni dari sekolahku di jurusan
itu. Kemudian, aku pun mengandalkan spiritualitasku yang sesungguhnya amat pas-pasan.
Kau tahu, jalur itu merupakan ajang pertarungan nilai, ego, doa, dan takdir.
Lalu singkat cerita, pada tanggal 26 April 2017, aku menjadi salah satu tim
merah dalam SNMPTN.
Sewaktu melihat hasil pengumumannya,
aku tidak menangis. Hanya badmood. Kemudian, aku pun segera mendaftar SBMPTN.
Kemudian, aku pun pergi ke Yogyakarta untuk menjauhkan diri dari pengaruh
negatif yang mungkin muncul dalam diriku. Di kota asal, aku yang sensitif
merasa mendapat bully-an ketika ada yang bertanya “Mba, udah dapat tempat
kuliah?”. Rasanya aku ingin lenyap dari tempat itu, melenyapkan pertanyaan itu
dari muka bumi, serta melenyapkan orang yang menanyakan itu padaku. Serius, aku
bingung harus berbuat apa. Akhirnya, aku pergi ke Yogyakarta untuk menyembuhkan
itu semua.
Hari pertama, aku langsung mendaftar
di salah satu bimbingan belajar. Sudah terlambat, memang. Namun, kakakku selalu
menyemangati bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Ya, kota baru,
harapan baru. Aku ingin memperbaiki diriku. Selamat tinggal, masa lalu. Tidak
mengapa jika saling melupakan. Lagipula, beberapa kenangan masih ada yang
membekas dalam ingatan.
Hal yang kurasakan dari bimbingan
belajar yang ada di Yogyakarta adalah suasana yang amat kondusif untuk belajar.
Bertemu dengan orang-orang dari penjuru Indonesia yang memiliki semangat
belajar lebih, suasana yang sejuk, orang-orang yang ramah, dan pemandangan yang
tidak kalah indah dengan kota-kota wisata lain di dunia. Merantau itu bagaikan
memiliki jiwa kedua.
Aku pun berusaha untuk mengajak diriku
agar bersemangat dalam SBMPTN. Di SBMPTN, aku tidak terlalu banyak berharap,
karena aku mengatakan pada diriku sendiri bahwa banyak jalan terbentang. Aku
juga sering menonton live instagram dari salah satu akun yang berisi informasi
dan motiavsi seputar dunia perkuliahan. Dari situ, aku mengenal banyak orang
dari beragam perguruan tinggi negeri dan luar negeri. Jujur saja, dibandingkan
bimbingan belajar, akun instagram itu lebih banyak berjasa dalam memotivasiku
untuk mempersiapkan SBMPTN. Karena waktu SMA, aku tidak pernah mengikuti
bimbingan belajar. Aku takut tergoda dengan contekan, bocoran, dan kunci
jawaban ulangan.
Lalu, hawa SBMPTN menyelimuti
Indonesia. Banyak yang memberikan support dan semangat untuk para pejuang
SBMPTN 2017. Di SBMPTN, kita masuk sebagai anak SMA, keluar sebagai mahasiswa.
Itu salah satu yang kuingat. Lalu, tepat di malam sebelum SBMPTN tiba, seorang
kakak kelas yang saat ini kuliah di UGM pun mengatakan lewat direct message, “I
know you’ll make it”. Percayalah, itu membuatku senang dan tidak sabar menanti
hari itu tiba. Tidak sabar ingin lolos SBMPTN dan lulus dari UGM.
Hari-H SBMPTN tiba. Kota Yogyakarta
dibanjiri oleh peserta SBMPTN. Pertarungan mimpi yang telah lama dinanti
akhirnya datang. Sempat khawatir, namun aku obati dengan mengaji sebelum
memasuki ruang tes. Kualihkan kegugupanku dengan bacaan Al Quran dalam otak.
Aku yakin bahwa aku mampu menghadapi semua ini. Aku ingin membuktikan bahwa aku
juga pantas untuk merasakan kebahagiaan.
Saat memasuki ruang tes, aku langsung
menempati tempat duduk sesuai nomor tes. Aku sudah terbiasa untuk tenang dalam
ujian. Fokus pada sasaran. Berikan senyuman kepada seseorang yang berada di
depan. Jika mengalami kebuntuan atau kesulitan, selalu berikan senyuman,
kemudian kerjakan apa yang seharusnya dilakukan. Memang sempat mengalami
keraguan, muncul rasa ingin menjawab asal-asalan, tetapi kemudian motivasi kuat
melawan. Alhamdulillah, ujian tulis sudah selesai. Tinggal berpasrah. Gugur
satu tumbuh seribu.
Kemudian, tanggal 13 Juni 2017, aku
dikabari oleh seorang teman seperjuangan bahwa aku lolos SBMPTN prodi Ilmu
Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan/Sosiatri Universitas Gadjah Mada. Aku pun
menelepon ibuku, memberi kabar pada keluarga dan kakak kelasku bahwa aku
mendapat kabar baik. Alhamdulillah. Euforianya masih terasa hingga tulisan ini
dibuat.
Pejuang, dari ceritaku itu, ada
beberapa hal yang ingin kutekankan. Pertama, ada baiknya jika kita berjuang
dari awal. Kenali siapa diri kita dan lakukan hal-hal yang dapat menunjang diri
kita agar menjadi seseorang yang kita harapkan. Karena belajar itu dilakukan
seumur hidup, maka seumur hidup kita harus serius menyimak pelajaran kehidupan.
Kedua, temukan motivasi mengapa harus kamu yang menjadi seseorang yang kamu
harapkan. Jaga terus motivasi itu. Di saat kamu merasakan degradasi, masih ada
motivasi yang menemanimu untuk mewujudkan mimpi. Ketiga, jangan berharap pada
siapapun selain diri sendiri dan Tuhan. Sebagaimana ucapan Ali bin Abi Thalib,
yang paling menyakitkan adalah berharap pada manusia. Sistem yang canggih itu
dibuat oleh manusia. Kalau terlalu berharap padanya, akan menyakiti hati. Yang
terakhir, jaga semangat berjuangmu dan tolong bagikan tulisan ini pada
teman-temanmu yang masih duduk di tahap awal SMA. Semoga berhasil, pejuang!
Ditulis oleh:
Nabila Arifani Arizka
Ditulis oleh:
Nabila Arifani Arizka
SUKSES UNTUK NABILA.....SEMMOGA DAPAT MENGINSPIRASI KAWAN KAWAN YANG LAINNYA.....
BalasHapus